pahlawan nasional
Cut Nyak Dien
- Tempat/Tgl.
Lahir : Aceh, 1848 (tanggal dan bulan
tidak diketahui)
Tempat/Tgl. Wafat : Sumedang, 6 November 1908
SK Presiden : Keppres No.106 Tahun 1964, Tgl. 2 Mei 1964
Gelar : Pahlawan Nasional
Cut Nyak Dien lahir pada 1848
dari keluarga kalangan bangsawan yang taat beragama. Ayahnya bernama Teuku
Nanta Seutia, seorang uleebalang. Beliau mendapatkan pendidikan agama dan rumah
tangga yang baik dari kedua orang tua dan para guru agama. Semua ini membentuk
kepribadian beliau yang memiliki sifat tabah, teguh pendirian, dan tawakal.
Seperti umumnya di masa itu,
beliau menikah di usia sangat muda dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Mereka
dikaruniai seorang anak laki-laki. Ketika Perang Aceh meletus tahun 1873, Teuku
Ibrahim turut aktif di garis depan. Cut Nyak Dien selalu memberikan dukungan
dan dorongan semangat.
Semangat juang dan perlawanan Cut
Nyak Dien bertambah kuat saat Belanda membakar Masjid Besar Aceh. Dengan
semangat menyala, beliau mengajak seluruh rakyat Aceh untuk terus berjuang.
Saat Teuku Ibrahim gugur, di tengah kesedihan, beliau bertekad meneruskan
perjuangan. Dua tahun setelah kematian suami pertamanya tepatnya pada tahun
1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar. Seperti Teuku Ibrahim,
Teuku Umar adalah pejuang kemerdekaan yang hebat.
Bersama Cut Nyak Dien,
perlawananyang dipimpin Teuku Umar bertambah hebat. Sebagai pemimpin yang
cerdik, Teuku Umar pernah mengecoh Belanda dengan pura-pura bekerja sama pada
tahun 1893, sebelum kemudian kembali memeranginya dengan membawa Iari senjata
dan perlengkapan peranglain. Namun, dalam pertempuran di Meulaboh tanggal 11
Februari 1899 ,Teuku Umar gugur. Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun
Cut Nyak Dien mengatur serangan besar- besaran terhadap beberapa kedudukan
Belanda. Seluruh barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk biaya
perang. Meski tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah
surut. Perlawanan yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat
mengganggu, bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh sehingga
pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya.
Namun, kehidupan yang berat dihutan
dan usia yang menua membuat kesehatan perempuan pemberani ini mulal menurun.
Ditambah lagi, jumlah pasukannya terus berkurang akibat serangan Belanda. Meski
demikian,ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan
untuk menyerah, beliau sangat marah. Akhirnya, Pang Laot Ali yang tak sampai
hati melihat penderitaan Cut Nyak Dien terpaksa berkhianat. la melaporkan
persembunyian Cut Nyak Dien dengan beberapa syarat, di antaranya jangan
melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.
Begitu teguhnya pendirian Cut
Nyak Dien, bahkan ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap dalam kondisi
rabun pun masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda.
Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Beliau
marah luar biasa kepada Pang LaotAli. Namun,walau pun di dalam tawanan, Cut
Nyak Dien masih terus melakukan kontak dengan para pejuang yang belum tunduk.
Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga beliau akhirnya
dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, pada 11 Desember 1906.
Cut Nyak Dien yang tiba dalam
kondisi lusuh dengan tangan tak lepas memegang tasbih ini tidak dikenal
sebagian besar penduduk Sumedang. Beliau dititipkan kepada Bupati Sumedang,
Pangeran Aria Suriaatmaja, bersama dua tawanan lain, salah seorang bekas
panglima perangnya yang berusia sekitar 50 tahun dan kemenakan beliau yang baru
berusia 15 tahun. Belanda sama sekali tidak memberitahu siapa para tawanan itu.
Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Pangeran Aria tidak
menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di
belakang Masjid Besar Sumedang. Perilaku beliau yang taat beragama dan menolak
semua pemberian Belanda menimbulkan rasa hormat dan simpati banyak orang yang
kemudian datang mengunjungi membawakan pakaian atau makanan. Cut Nyak Dien,
perempuan pejuang pemberani ini meninggal pada 6 November 1908.
Beliau dimakamkan secara hormat
di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan Sumedang, tak jauh dan
pusat kota. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa beliau,
bahkan hingga Indonesia merdeka. Makam beliau dapat dikenali setelah dilakukan
penelitian berdasarkan data dari pemerintah Belanda.
Komentar
Posting Komentar